Selasa, 07 Desember 2010

Suku Aztek Amerika Kuno



 Suku Aztek
Suku Aztec atau Astek adalah penduduk asli di Amerika khususnya bagian selatan, Jika dilihat dari bahasa Nahuatl yang merupakan bahasa asli kaum Aztec, "Aztec" memiliki arti seseorang yang berasal dari Aztlan. Dilain sisi, Kaum Aztec juga menyebut diri mereka sebagai Mehika, Meshika atau Mexica, yang konon adalah asal nama Meksiko. Bangsa Aztek adalah bangsa yang menyembah para dewa dan dewa peling mereka agungkan adalah dewa Matahari atau dikenal dengan nama Huitzilochti.

 Tempat Keberadaan Suku Aztek
Berdasarkan sebuah legenda dimana pada sebuah pulau di danau Tecoco, bangsa Aztec memperoleh semacam wangsit karena telah meihat seekor elang dengan seekor ular dimulutnya, yang sedang bertengger pada pada sebatang kaktus. Karena menganggap hal tersebut sebagai pertanda gaib, para pendeta mengikrarkan bahwa pulau tersebut telah dipilih untuk bangsa Aztec oleh dewa-dewa mereka. Distulah mereka membangun kota Tenochtitlan.
Mereka memperluas kota tersebut dengan membuat rakit-rakit yang terbuat dari anyaman ranting dan rotan yang uruk tanah dan tanaman. Di daerah danau ini mereka mengembangkan pertanian. Kota Tenocthitlan yang didirikan oleh bangsa Aztec kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan ritual. Bangunan pemujaan berbentuk piramid banyak didirikan di kota tersebut.

 Kepercayaan Bangsa Aztek
Bangsa Aztec menyembah dewa. Mereka menyembah banyak dewa, dewa yang paling agung menurut bangsa Aztek adalah Dewa Matahari yaitu Huitzilochti. Mereka mempercayai bahwa matahari adalah sumber kehidupan dan harus terus dipelihara agar terus beredar pada orbitnya dan berputar terbit dan tenggelam untuk itu diperlukan pelumas yang murni yaitu darah manusia.
Mereka meyakini bahwa pengorbanan manusia merupakan tugas suci dan wajib dilakukan agar dewa matahari tetap memberikan kemakmuran bagi manusia selain itu orang-orang suku aztek percaya bahwa mereka berhutang darah kepada para dewa dan mereka ingin menghindari bencana dengan membayar hutang tanpa akhir. Upacara pengorbanan dilakukan diatas altar dipuncak piramid dengan cara mengambil jantung korban untuk pendeta. Upacara pengorbanan manusia juga dilakukan secara masal dengan cara membunuh banyak orang.
Suku Aztec memiliki 18 bulan dalam satu siklus, dan untuk masing-masing 18 bulan ada ritual pengorbanan. Korban yang hendak di korbankan akan dicat tubuhnya sebagai bagian dari ritual, mereka akan ditempatkan pada altar di mana hati dan jantung mereka akan di ambil kemudian tubuh mereka akan dilemparkan menuruni tangga piramid.
Ada tiga hipotesis yang dilakukan oleh para Antropolog mengenai alasan pengorbanan manusia disamping alasan untuk pengorbanan dewa, yaitu :
1. Pengorbanan dilakukan untuk mengurangi jumlah penduduk, terutama sejak jumlah tawanan perang meningkat dengan pesat dibandingkan dengan jumlah kelahiran.
2. Untuk memberikan kepada rakyat mayat-mayat yang dikorbankan sebagai sumber protein dan vitamin. Hipotesis ini snagat lemah, karena bangsa Aztec menghasilkan jagung, kacang, serta memlihara anjing, ayam dan kalkun.
3. Pendapat yang lebih rasional adalah untuk menakut-nakuti para pembangkang dan pemberontak, agar mereka tidak melakukan perlawanan terhadap penguasa raja. Para tawanan perang banyak dijadikan korban dan jumlah besar untuk dewa matahari, orang-orang yang bersalah juga yang bersalah juga jadi sasaran untuk jadi korban seperti jenderal yang salah dalam memimpin perang, para koruptor, hakim yang keliru membuat keputusan, serta pejabat negara yang berbuat salah, termasuk orang yang memasuki daerah terlarang istana raja.
Dalam buku Negara dan Bangsa (1990:208), disebutkan bahwa Huzlopochtli adalah dewa yang demikian rakus sehingga pada upacara istimewa ribuan manusia dikorbankan sebagai sesaji untuknya dalam waktu satu hari saja. Pada masa Raja Monte Zuma II pernah mengorbankan 5100 orang korban dalam satu upacara peringatan tahtanya dan pada saat Raja Auitzotl yang berkuasa pada abad ke-15, paling tidak 20.000 jiwa manusia dijadikan korban dalam upacara. Calon korban digiring ke puncak piramid tempat pendeta saling berebut bagian mereka masing-masing dan memotong jantung si korban dengan pisau batu gelas, lalu memprsembahkannya hangat-hangat dan masih berlumur darah ke batu altar sang dewa. Untuk sesaji yang sedemikian massalnya itu, bangsa Aztec tidak dapat mengandalkan sukarelawan dan oleh sebab itu mereka sering mengirim rombongan pejuang ke wilayah sekutunya untuk menangkapi calon-calon korban.
Dalam penggalian yang dipimpin oleh Cabrera Castro dari National Institute of Antropology and History Meksiko,dan Saburo Sugiyama dari Aichi Prefectural University Jepang.Menggali jauh ke dalam struktur batu setinggi 43 meter para arkeolog menemukan lima lokasi pemakaman. Mereka membersihkan lapisan terakhir tanah dari dasar dan menemukan lokasi pembantaian yang mengerikan.Kepala-kepala tanpa tubuh dan jasad para pejuang dan para pejabat penting asing,mamalia karnivora,burung pemangsa,dan reptilia mematikan.

 Masa Kejayaan Aztek
Masa kejayaan Suku azek di perkirakan pada sekitar 1502-1520 M saat di pimpin oleh Kaisarnya yang bernama Montezuma II. Montezuma II adalah kaisar Aztek yang paling terkenal ia juga dianggap oleh sejarawan memiliki lambang-lambang kebesaran jika dibandingkan dengan raja-raja Eropa pada periode yang sama. Raja Montezutna II pernah mengorbankan sejumlah 5100 korban dalam upacara peringatan kenaikan tahtanya.
Raja raja yang pernah memerintah di aztek antara lain adalah sebagai berikut:
 Tenoch
 1375: Acamapichtli
 1395: Huitzilihuitl
 1417: Chimalpopoca
 1427: Itzcoatl
 1440: Moctezuma I ( Motecuhzoma Ilhuicamina)
 1469: Axayacatl
 1481: Tizoc
 1486: Auitzotl
 1502: Moctezuma II ( Motecuhzoma Xocoyotzin)
 1520: Cuitlahuac
 1521: Cuauhtemoc
Bangsa Aztek adalah bangsa yang gemar perang. Bagi mereka perang merupakan bagian dari budaya sehari-hari serta bagian dari sistem kepercayaannya selain itu dengan berperang mereka dapat mengumpulkan para korban yang akan di persembahkan untuk pengorbanan kepada dewa mereka.
Pada puncak kejayaan kekuasaan Aztec, Tenochittlan merupakan pusat upacara berdarah yang semakin menjadi-menjadi. Berbagai jamuan sakramental dan ritus-ritus lainnya, menciptakan suatu kehidupan yang dibayang-bayangi oleh lambang kematian. Bagi bangsa Aztec, darah manusia merupakan bagian upacara untuk mencegah kehancuran dunia, yang menurut mereka ditandai oleh lenyapnya matahari.
Upacara kurban bagi bangsa Aztec bukanlah hal yang mengerikan, begitu pula bagi calon korban. Menurut kepercayaan mereka, kematian ditangan para pendeta merupakan suatu kehormatan. Korban itu dipersembahkan kepada dewa-dewa dengan cara membelah dada dan mengambil hatinya, agar tidak marah dan lapar dan mendatangkan bencana alam. Kepercayaan ini mempengaruhi pendangan orang Aztec.
Sejak masa kanak-kanak para anak-anak telah dilatih untuk siap dijadikan kurban ritual bila mereka tertawan dalam peperangan. Mati sebagai kurban upacara bagi mereka berarti ikut menyumbangkan hati dan darah untuk dipersembahkan kepada dewa matahari, dan dengan demikian ikut memperkuat matahari dalam peperangan sehari-hari melawan gelap (malam) sehingga mereka menjadi bagian penting dari matahari.

 Stratifikasi Sosial Bangsa Aztec
Pada awal migrasi ke Meksiko tidak terdapat pelapisan atau Stratifikasi sosial karena semua golongan adalah miskin. Tidak diketahui dengan pasti latar belakang timbulnya stratifikasi sosial ini. Menurut lagenda Aztec, masyarakat dibagi ke dalam beberapa golongan. Golongan pertama adalah keluarga raja dengan puncak pimpinan adalah kaisar. Kaisar dibantu oleh golongan bangsawan atau pejabat kekaisaran yang bertindak seperti golongan feodal Eropa pada zaman pertengahan. Para pangeran atau bangsawan disebut techutli.
Dibawah golongan bangsawan adalah golongan para tentara atau prajurit. Golongan ini mendapatkan kedudukan istimewa dalam negara karena merekalah yang mampu menangkap tawanan untuk dijadikan budak atau korban untuk dewa. Bila mereka gagal melakukan tugas mereka akan dijadikan buruh atau bahkan dijadikan korban untuk dewa.
Kelas dibawah prajurit adalah warga biasa yang disebut maceuatli atau pekerja. Golongan ini berfungsi sebagai petani, tentara rendahan serta buruh untuk membangun kuil, jalan jembatan dan lain-lain. Dibawah mereka adalah golongan pekerja yang tidak memiliki tanah atau disebut thalmaitl Golongan ini memiliki hak kewarganegaraan dan lebih tinggi dari budak. Golongan paling bawah adalah budak atau disebut tlatocotin. Golongan ini juga memiliki hak-hak tertentu, yang berbeda dengan golongan budak di Eropa adalah Mereka diperbolehkan menyembah dewa dan memiliki tanah atas kemampuan sendiri.
Semua golongan masyarakat menyembah dewa yang sama Huitzilopochtli dan dewa-dewa laiiinya tetapi dengan kuil yang berbeda-beda, Upacara pengorbanan dipimpin oleh pendeta yang sering juga berfungfsi sebagai dukun yang meramalkan nasib seseorang pada masa yang akan datang. Pergantian raja tidak dilakukan menurut hierarld atau keturunan melainkan berdasarkan pemilihan. Walau anak tertua menjadi prioritas untuk dipilih, aspek ketrampilan dan kecakapan merupakan dasar pemilihan raja.

 Hasil Kebudayaan Bangsa Aztek
Bangsa Aztec memiliki seni bangun atau arsitektur yang amat tinggi di sini terdapat bangunan-bangunan seperti aquadec atau bangunan lain, tempat jalan raya menuju kota, jalan-jalan lebar, serta kanal yang melewati kota serta jembatan diatasnya. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan teknologi tinggi menurut jamannya. Di pusat kota dibangun kuil-kuil besar sebagai persembahan kepada dewa matahari. Tinggi bangunan tersebut 30 meter, terdiri atas tiga tingkat, yang masing-masing tingkat memiliki 120 anak tangga. Di bangunnya jalan-jalan dan kanal-kanal yang lebar adalah untuk memudahkan lalu lintas orang dan barang dagangan. Dalam kegitan perdagangan tersebut mereka memperjualbelikan hewan ternak.
Kebanyakan arsitektur bangsa Aztec lebih memen-tingkan fungsi. Di pegunungan, rumah orang Aztec terbuat dari batu bata yang dijemur, Di dataran rendah, rumah mereka berdinding ranting-ranting atau batang padi yang diplester dengan tanah liat dan beratapkan alang-alang. Sebagi tambahan pada tempat tinggal utama, umumnya mereka mempunyai bangunan lain seperti tempat penyimpanan.
Kuil Aztec dan bangunan lain dengan dekorasi patung merupakan salah satu karya terindah di Amerika. Tetapi hanya sedikit peninggalan karya arsitektur Aztec yang masih dapat ditemukan. Para ahli menyimpulkan bahawa bangsa Aztec memiliki tingkat kebudayaan dan peradaban yang tinggi. Peradaban ini runtuh karena penaklukan oleh bangsa Spanyol di bawah pimpinan Hernando Cortez pada tahun 1521.

#gambar cover di edit dari sampul "Atlas Sejarah" terbitan Erlangga#

Sabtu, 19 Juni 2010

Asal Mula Nama Suku Gayo


GAYO adalah etnis yang mendiami dataran tinggi di Nanggroe Aceh Darussalam dan merupakan daerah yang kaya akan hasil alam. sedikit saya jelaskan kenapa saat ini ada anggapan bahwa orang Gayo di sebut-sebut bukan orang Aceh padahal Gayo itu sendiri berada di Aceh? ini merupakan politik adudomba yang pernah di terapkan oleh penjajah belanda untuk memecah belah aceh sama halnya seperti yang di terapkan belanda terhadap rakyat Pidie yang juga di katakan bukan orang Aceh, dan ternyata politik tersebut berhasil melekat samapai masa penjajahan berakhir. namun tentu saja kita tidak mengharapkan pepecahan di Aceh yang kita cintai ini. Kembali kepada topik kita tentang bagaimana dengan asal mula penamaan kata "GAYO"? ada beberapa versi yang mengungkapkan tentang asal mula kata Gayo yang masing-masing versi memiliki alasan tersendiri dan tentu saja nantinya kita akan menilai bersama-sama manakah teory yang lebih sesuai/cocok dengan masyarakat gayo itu sendiri. Berikut adalah beberapa versi tersebut:

Ada sebuah tulisan dari seorang saudara dari etnis Aceh yang menyebutkan penamaan 'Gayo' itu berasal dari bahasa Aceh 'Kayo', yang artinya 'sudah takut'. Saudara ini mengambil kesimpulan seperti ini berdasarkan atas kemiripan semantik antara 'Gayo' dan 'Kayo'. Berdasarkan kemiripan pengucapan kata ini si saudara ini menyimpulkan kurang lebih bahwa alasan kenapa saat ini orang Gayo tinggal di gunung adalah karena perasaan ketakutan orang Gayo terhadap orang Aceh. Menurut ini mengatakan bahwa orang Gayo pada awalnya tinggal di pesisir lalu pindah ke pegunungan karena terdesak oleh kedatangan orang suku Aceh. Teori ini cukup masuk akal, karena memang biasanya kebudayaan yang lebih tua selalu terdesak oleh yang lebih baru.

Jadi sekilas memang tidak ada yang salah dengan teori ini. Cuma masalahnya, lari akibat ketakutan ini bukanlah satu-satunya teori yang bisa menjelaskan alasan kenapa orang tinggal di gunung. Ada beberapa alasan lain yang menyebabkan orang tinggal di gunung. Salah satunya adalah karena di gunung tanahnya lebih subur dan lebih cocok untuk bertani. Dalam masyarakat agraris yang tinggal di pulau subur dalam kebudayaan apapun di belahan dunia manapun, masyarakat agraris selalu lebih suka tinggal di tempat yang subur dan memiliki banyak persediaan air dan itu adalah gunung. Karena itu dalam berbagai kebudayaan agraris bagian yang paling maju peradabannya itu justru yang di wilayah pegunungan.
pola seperti ini juga bisa kita lihat berkembang di pulau-pulau subur di karibia, entah itu Kuba, Jamaika dan pulau- pulau subur lain sebelum kedatangan orang eropa. Pola yang lebih jelas lagi bisa kita lihat di Amerika Selatan. Peradaban paling maju di seluruh Amerika Selatan sebelum kedatangan orang eropa adalah peradaban orang-orang Quechua yang tinggal di Gunung, dalam peradaban ini kelompok yang paling terhormat dan paling tinggi kedudukannya dalam masyarakat itu tinggal di tempat yang paling tinggi, karena itulah Machu Picchu kota Spektakuler tempat tinggal para raja Quechua yang disebut INCA bersama keluarganya, dibangun di tempat tertinggi di daerah itu

Dengan adanya teori lain ini, sekarang kita bisa menguji kemungkinan- kemungkinannya berdasarkan karakter orang Gayo dan orang suku Aceh sendiri :


1. Apakah alasan orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo) seperti halnya orang Tengger yang takut akan kedatangan islam sebagai mana di tulis oleh seorang saudara saya dari etnis Aceh
2. Apakah orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat subur seperti orang Bali, atau yang lebih ekstrim lagi.

3. Jangan-jangan Orang Gayo tinggal di Gunung justru karena merasa diri lebih tinggi dari orang suku Aceh seperti para Inca di Peru sana.


Kita uji kemungkinan pertama, orang Gayo tinggal di gunung karena ketakutan (Kayo).

Teori ini banyak mengandung kejanggalan. Yang paling janggal dari teori ini adalah fakta bahwa pada masa lalu, Gunung itu justru jauh lebih menakutkan dibandingkan wilayah pesisir. Saat itu wilayah pegunungan di Aceh masih dipenuhi hutan Rimba. Pada masa itu Harimau Sumatra baik dalam jumlah maupun keganasan bisa dikatakan sedang 'lucu-lucunya'. Di zaman itu, Harimau Sumatra adalah raja rimba dalam arti yang sesungguhnya.

jadi orang-orang yang pergi dan tinggal di gunung pada masa itu adalah orang-orang yang berani menghadapi resiko serangan harimau , Jadi sangatlah janggal jika ada teori yang mengatakan orang Gayo yang berani menantang Harimau dikatakan tinggal di gunung karena KAYO, alias karena ketakutan.

Keanehan lain dari teori ini adalah, tidak adanya satu hal atau event penting apapun yang membuat orang Gayo harus lari dari pesisir, tidak seperti orang Tengger yang lari karena tidak mau memeluk Islam, ketika Orang Aceh menjadi Islam, orang Gayo juga ikut memeluk Islam.

Jadi dari pembuktian ini sebenarnya orang Gayo tinggal di gunung karena memang gunung tempat terbaik untuk bertani, namun untuk tinggal di sana sangatlah beresiko sehingga hanya orang Aceh yang paling beranilah yang bisa tinggal di gunung, sebaliknya orang suku Aceh memilih tinggal dan bertani di pesisir yang kurang subur adalah karena orang suku Aceh tidak berani mengambil resiko tinggal di tempat subur tapi harus setiap hari berurusan dengan Harimau.
bahkan bisa jadi Orang Gayo tinggal di gunung karena merasa dirinya lebih tinggi dari suku Aceh seperti para Inca dalam masyarakat Quechua yang tinggal di pegunungan karena kemampuan dan kebudayaan mereka yang sudah tinggi.

Namun berani dan takut bukanlah suatu teory yang absah dalam perpindahan penduduk, bukan hanya begitu saja pengujian yang dapat kita lakukan mengapa orang gayo tinggal di gunung dan orang aceh tinggal di pesisir, adapun alasan lain kenapa orang suku Gayo tinggal di gunung adalah karena orang Gayo suka Bertani sehingga mereka mencari lahan subur di pegunungan dan suku aceh tinggal di pesisir juga di pengaruhi karena mereka lebih suka berdagang dan tempat yang baik untuk berdagang adalah di pesisir yang dekat dengan pelabuhan

Berdasarkan fakta-fakta yang saya uraikan ini alasan yang paling mungkin kenapa orang suku Aceh memilih tinggal di pesisir adalah semata karena Orang suku Aceh memang tidak terlalu tertarik pada tempat yang subur. Perbedaan karakter yang saling mengisi inilah yang dulu membentuk Aceh sebagai Bangsa. Perbedaan karakter antara suku Gayo dan suku Aceh saling mengisi untuk membangun kejayaan Aceh Darussalam di masa lalu. Jadi kalau Objektifitas yang kita kedepankan, bukan Subjektifitas yang mengagungkan kehebatan suku sendiri, yang paling masuk akal dari ketiga teori itu adalah teori nomer 2.

"Orang Gayo tinggal di gunung adalah karena Gayo masyarakat agraris yang lebih suka tinggal di tempat subur".


Kebenaran teori ini juga didukung oleh fakta yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini, yaitu adanya kebiasaan orang Gayo yang tetap berlangsung sampai hari ini yang senang menjual kebun yang sudah jadi dan sudah digarap bertahun-tahun kepada orang jawa lalu orang Gayo si mantan pemilik lahan itu sendiri memilih membuat kebun baru dengan membuka hutan untuk mendapatkan lahan yang lebih subur.


Karena kebiasaan seperti inilah di Gayo muncul istilah ' Gayo tukang tebang, Jewe berempus wan belang, Acih mujegei simpang'. Artinya, Orang Gayo tukang tebang (membuka hutan), Orang Jawa berkebun di ladang (yang dulunya adalah Hutan yang dibuka oleh orang Gayo), orang suku Aceh menunggui Simpang (persimpangan jalan).


Dari ungkapan ini bisa kita lihat kalau orang Gayo memang lebih suka mencari tantangan baru daripada menggarap lahan yang tidak lagi subur, sementara orang Jawa sebaliknya lebih suka mencari aman dengan menggarap lahan yang sudah jadi, meskipun tidak terlalu subur dan orang Aceh daripada bertani lebih suka tinggal di persimpangan yang banyak dilewati orang, berdagang menyediakan kebutuhan orang- orang yang bertani itu, baik orang Gayo maupun Jawa.